Minggu lalu ku sakit. Tiga hari tak masuk kampus. Badanku demam, malangnya lagi demam itu tak mau buru-buru pergi dari tubuhku. Ia seperti mendapati tubuhku sebagai tempat yang nyaman untuk bersarang. Ku ingat saat itu tubuhku seperti beban buat diriku sendiri. Membawa tubuhku untuk berjalan saja rasanya seperti membawa puluhan orang di atas pundaku. Berkali-kali kau memuntahkan apapun makanan yang telah ku makan, apalagi obat yang ku minum. Bau obat amat merangsang penciumanku. Sangat sensitif, hingga ku tak mampu melawannya.
Perutku selalu terasa mual. Tak ada satupun makanan yang bisa membangkitkan gairah makan orang sakit. Ku tak berani memikirkan hal-hal yang terlalu berat, takut itu akan menambah rasa sakitku. Sebab sehari sebelumnya ku bermimpi tugas-tugas di kampus itu telah menjadi monster yang memakan habis hari-hariku. Ku tak ingin memikirkan apapun, tapi semakin tak ku pikirkan, semakin mereka berkeliaran di kepala. Ku tahu, ku tak mengundangnya, tapi mereka seperti capung-capung yang berterbangan di musim kemarau. Berputar-putar, berpusing-pusing di kepalaku. Bahkan ku yang biasanya kutu buku, yang tak mau membiarkan waktu luangku hilang kecuali dengan buku, tak juga mau menyentuh buku. Ku takut konflik-konflik dalam novel yang kau baca malah akan menambah rasa sakitku. Menonton televisipun tidak, karena cahaya televisi hanya akan membuat kepalaku seperti dijejali benda-benda asing yang siap meledak. Ini gila! Pikirku.
Ku hanya bisa berbaring sendirian di kasur yang digelar di lantai. Sebuah bantal, sebuah guling, sebuah selimut. Tak ada orang tua, tak ada saudara, tak ada kekasih yang mengurusku. Mereka jauh. Mereka semua jauh, jauh fisik, jauh hati. Ah tapi tidak dengan ibu. Tadi pagi dia telpon, menanyakan kabarmu. Mengkhawatirkanmu. Menyuruhmu meminum obat dan jangan memuntahkannya lagi, tapi ku gagal. Di saat-saat seperti itu betapa ku sangat rindu ibuku. Rindu ketika dia membuatkanmu teh manis dan menyediakan roti ketika ku sakit. Rindu ketika dia memijit kakimu yang sebenarnya tak berefek banyak pada sakitmu, tapi kau menyukainya. Ah, tapi yang harus ku hadapi sekarang adalah menyiapkan minum sendiri, mencari makanan sendiri, melawan sakit itu sendiri.
Di saat seperti itu, tiba-tiba saja ku begitu merasa sendirian. Begitu merasa takut jika saja Dia Yang Mengendalikan Segala Sesuatu itu menghendakimu sekarang. Ku merasa masih begitu kotor, meski ku tak pernah yakin akan bersih. Ku ingat tentang orang-orang yang hari ini cuma sakit biasa-biasa saja, lalu besoknya meninggal hanya karena demam atau semacamnya. Mengerikan jika itu terjadi padaku, pikirku. Lalu kau coba mengingat-ingat apa saja yang telah aku lakukan, apa yang telah aku capai hingga umurmu saat ini. Begitu jauh, begitu jauh dari mimpi.
Di saat-saat seperti ini ku merasa betapa sayangnya hari-hari sehat yang telah kau lalui dengan hal-hal percuma di masa lalu. Ku ingin memanggil mereka kembali. Di saat seperti ini kau merasa sehari sakit adalah waktu yang digunakan manusia untuk menembus beberapa galaksi. Lama sekali. Ku begitu menyadari bahwa jika saat itu ku diangkat jadi rajapun kau tak akan bisa menikmatinya, karena sakit mementahkan segala kesenangan dunia. Bahkan ku sempat berpikir seandainya Tuhan menyuruhku memilih umur seribu tahun tapi sakit, atau setengah hari tapi sehat, ku akan memilih yang terakhir.
Ku terpejam, mengingat hari-hari indah yang telah kau lalui, lalu menyerahkan semuanya kepada Yang Memberi Sehat dan Sakit.